Budiman Sudjatmiko (1)

Friday, January 2, 2009

Ini gw kutip mentah2 dari blog bang Timoer, beralamat di teguhtimur.com

enjoy:


September 10, 2008 in BERITA, CATATAN, TOKOH

SEJAK awal sekali saya mempercayai bahwa perubahan politik yang terjadi Pasca Revolusi Prancis (baca: era demokrasi borjuasi)—sejauh ia dimaksudkan untuk melakukan perubahan yang demokratis dan untuk mencapai tujuan mendemokratiskan kekuasaan dan penyelenggaraan kekuasaan negara—selalu menggunakan wahana partai politik.

Monograph ini ditulis dan disebarkan Budiman Sudjatmiko di milis Forum Pembaca Kompas (FPK), sebagai reaksi terhadap “gugatan” yang disampaikan sementara anggota milis yang mempertanyakan keputusan orang-orang seperti Budiman Sudjatmiko memasuki partai politik. Singkat, namun monograph ini mempertegas peta persoalan (ancaman) yang sedang dihadapi demokrasi Indonesia. Dengan monograph ini Budiman sebetulnya juga sedang menawarkan jalan keluar yang elegan.

Satu hal yang saya kagumi dari monograph ini adalah seruannya agar kita menyadari bahwa apapun yang sedang terjadi di tanah air hanya dapat diselesaikan oleh kita, tangan kita. Bukan oleh Superman, manusia serba bisa. Bukan hanya Superman memang tidak pernah ada, tetapi membayangkan dan menunggu-nunggu kehadiran Superman adalah perbuatan yang sia-sia.

Saya belum meminta izin kepada Budiman untuk memuat monograph ini di blog saya. Saya percaya, sebagai seorang teman Budiman tidak akan keberatan.

Keterangan foto: Seminar Kepemimpinan Nasional dan Momentum Kebangkitan Nasional, November 2006. Dari kiri ke kanan: Budiman Sudjatmiko, Sukardi Rinakit, saya (moderator), Akbar Tandjung, dan sejarawan Hilmar Farid.

Karena itu saya mengenyampingkan penggunaan alat-alat politik non-partai, seperti kesatuan-kesatuan militer untuk kudeta, LSM-LSM, maupun gerakan-gerakan gerilya. Tentu dalam sejarah ada juga penggunaan kesatuan-kesatuan militer untuk mendemokratiskan kekuasaan, misalnya gerakan di kalangan Angkatan Bersenjata Portugal dalam kudeta mereka menggulingkan kekuasaan Caetano yang fasistis pada 1974, yang menjadi pembuka dalam gelombang demokratisasi ke tiga (menurut tahapan-tahapan Samuel Hutington). Juga melalui gerakan-gerakan gerilya, seperti gerilya Sandinista di Nicaragua, maupun Farabundo Marti di El Salvador. 


Sekecil apapun, partai politik itu perlu untuk menjaga koherensi (keutuhan, kesatupaduan dan kesinambungan) cara pandang kita melihat persoalan kemasyarakatan, serta efektifitas perjuangan mengatasi persoalan-persoalan tersebut (yang membentang dari level internasional, regional, nasional hingga lokal).


Saya tak percaya ada Superman yang sanggup menjaga kejernihan untuk menempatkan semua persoalan tersebut (apalagi mengatasinya) dengan kedua tangannya sendiri.

Saya adalah orang yang sejak awal lebih percaya pada Superteam, bukan Superman.


Sekali lagi: bahwa partai yang kebanyakan ada adalah korup, itu tak perlu dibantah. Yang perlu saya dan Anda lakukan adalah terus menerus memperbaikinya. Keinginan menghancurkannya adalah tindakan fasistis dan militeristis.


Menghancurkan atau mengabaikan partai politik, adalah sama dengan mengingkari kemungkinan satu-satunya yang tersedia bagi orang biasa untuk berdaulat dan berkuasa atas penyelenggaraan negara secara demokratis (dan atas hasil-hasil pembangunan). 
Ini adalah refleksi atas pengalaman saya dan pengalaman banyak orang sebelum saya, di sini maupun di negeri lain.


Yang perlu dilakukan hanyalah, kita perlu mendiferensiasi platform kepartaian, sehingga orang punya opsi atau alternatif atas sekian banyak partai. Diferensiasi itu tidak sekadar pada public policy, tapi sudah sejak filsafat politik yang melandasi keberadaan, atau alasan adanya (raison d’etre) sebuah partai.

Kemudian, memperbaiki proses rekrutmen, pola kaderisasi dan pola pembiayaan kegiatan kepartaian, yang pada akhirnya akan memungkinkan adanya regenerasi kepemimpinan partai.


Berapa lama itu akan terjadi? Saya tak akan menjawab segera tentang berapa lama itu akan terjadi… Jika semakin banyak orang cerdas seperti Anda, dan punya komitmen seperti para anggota milis FPK ini masuk ke partai politik, maka proses itu bisa dipercepat.
 Namun jika semakin banyak orang seperti Anda, berpikir bahwa Superman lebih bisa diharapkan untuk melakukan perubahan-perubahan di negeri ini, maka bukan cuma Superman itu tak akan pernah lahir, tapi peradaban demokrasi kita akan mundur ke era pra-Revolusi Prancis, atau bahkan anarki kapital yang merajai negeri ini.


Kenapa saya masuk PDI Perjuangan?


Sudah sejak awal saya memandang diri saya seorang Nasionalis (Demokratis) Kerakyatan (nasionalis kiri). Tradisi itu di Indonesia telah diletakkan dasar-dasarnya oleh guru politik pertama saya sejak kecil, Bung Karno. PDI Perjuangan adalah partai yang akarnya berasal dari pemikiran-pemikiran Bung Karno (dengan segala kekurangan dan kelemahan yang dilakukan partai ini dalam lima tahun terakhir). Adalah tuntutan ‘pragmatisme etis’ saya untuk menjaga agar kelemahan-kelemahan serta kerusakan tersebut TIDAK berjalan lebih parah.

Karena jika partai yang paling dekat dengan keyakinan politik saya hancur berkeping-keping karena tidak adanya kepercayaan antar unsur-unsurnya, yang terjadi adalah dalam waktu sepuluh atau dua puluh tahun ke depan belum tentu akan terbangun satu kekuatan politik besar dan powerful yang bisa memberikan alternatif platform untuk Indonesia ke depan dalam bersaing dengan tawaran-tawaran politik kanan, yang bersal dari dua sumber: politik
 fundamentalisme agama dan neoliberalisme.

Saya tak akan mati-matian mempertahankan eksistensi diri saya atau angan-angan saya akan lahirnya Superman (atau berangan diri menjadi Superman), yang entah akan lahir atau tidak. Sementara saat bersamaan kompetisi demokratis akan terus hadir di Indonesia, tanpa adanya alternatif nasionalisme demokratis kerakyatan dalam bentuknya yang paling kokoh dan powerful yang bernama PDI Perjuangan yang beranggotakan 18 juta orang.

Superman is dead (demikian kata sebuah group musik), bahkan sebelum Superman sempat dilahirkan kedua nyata…

Sungguh, saya tak akan mempertaruhkan Indonesia yang demokratis hanya jadi ajang perebutan antara dua kanan: fundamentalisme agama dan neoliberalisme. 
Terkecuali jika Anda memang merupakan penganut salah satu dari dua alternatif kanan itu. Dan jika pun benar demikian, saya akan tetap menganjurkan Anda untuk memperjuangkan salah satu dari dua alternatif kanan itu melalui partai politik (dengan argumentasi yang sudah saya kemukakan di bagian awal) dengan masuk, misalnya, PKS atau Partai Golkar.
 


Liberte, egalite, fraternite
,
Budiman Sudjatmiko


Saya tak setuju dengan pendapat Anda, tapi saya akan mati-matian membela hak Anda untuk menyatakan pendapat Anda itu. (Voltaire)



-yang sekarang ngomong Al- songkil banget mas Budi. bener-bener sosok yang oke!n harus gw akui. terlepas dari keheranan gw pertama kali saat denger die keluar dari PRD terus gabung di PDIP, kini gw liat benih-benih yang dia tanam mulai tumbuh. gw pikir sekarang PDIP ga sekacrut dulu lagi. cuma ngandelin sosok Megawati yang notabene anaknye Bung Karno. Kayaknye si kini (kayaknya ya, soale gw ga tau aslinye juge) anak2 asuhannya Budiman dapet doktrin yang oke2. dan kalo gitu penerus2 di PDIP ya orang2 yang (Insya Allah) oke juga...hhhh(hela nafas panjang)...kudu siap2 diri ni buat pertarungan ke depan...2014 bakal bertarung super serius ni ...(dalam hati mah gw teriak "HOREEEE!!!!")


oke..tar lanjoot lagi

No comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll

Most Reading